yamayachi: apa yang petang bawa saat pulang
Petang hari ini datang bersama embusan angin yang kencang, membuat kedua insan yang berjalan berdampingan mengeratkan jaket. Keduanya masih malu untuk saling menyalurkan hangat lewat tautan tangan, padahal sudah hampir setahun mereka menyandang status pacaran. Tetapi biarlah, baik Tadashi maupun Hitoka sama-sama nyaman dengan keadaan ini.
Tadashi hafal sekali hari-hari seperti ini selalu datang. Hari di mana mereka pulang setelah meneriakan “Semangaatt!” “Besok kita menangin!!” Hari di mana beberapa jam sebelum pertandingan dimulai. Tidak bisa mengelak bahwa rasa gugup selalu datang dan Tadashi sudah tahu betul bagaimana cara ia menenangkan diri.
Namun tahun ini, yang ia tenangi bukan hanya dirinya, tetapi seluruh anggota tim.
Ketika ia dipilih sebagai kapten selanjutnya, Tadashi paham bahwa ia bisa, ia mampu, dan ia kuat. Tadashi mengerti tanggung jawab ini diberikan oleh Chikara karena kakak kelasnya itu yakin padanya. Tapi tetap saja, rasa takut itu ada.
Dan selalu ada.
Maka petang itu, kepada kekasih manisnya, Tadashi mengadu dengan lirih. “Aku takut.”
Suara kerikil yang tertendang, klakson bus, teriakan anak kecil yang bermain, dan obrolan orang-orang di sekitar mengantarkan aduan Tadashi kepada telinga Hitoka. Langkah gadis itu terhenti dan menatap langsung mata Tadashi. Benar, ada ketakutan di sana, bercampur dengan keraguan.
Hitoka jelas kaget begitu mendengarnya dan rasa kaget tersebut terganti oleh kekhawatiran. Keduanya saling beradu netra, tidak ada niat untuk melengos. Sampai akhirnya Hitoka membuka mulut.
“Kamu inget nggak, terakhir kali bilang kalau kamu takut?”
Tidak ada balasan dari lawan bicara membuat Hitoka kembali bersuara.
“Hmm ..,” Dahi Hitoka mengerut, tanda bahwa ia sedang mengingat yang dulu. Matanya tak lagi menatap milik lelaki di depan. “kalau nggak salah, hari pertama kamu jadi kapten, deh. Waktu itu kita mau nyambut anak kelas satu! Inget, nggak?”
Oh. Pupil Tadashi melebar. Mana mungkin ia lupa? Hari itu dirinya, Hitoka, Kei, Shoyo, dan Tobio datang satu jam lebih awal dari biasanya karena akan bersiap untuk menyambut anak kelas satu baru di klub voli. Semua terasa biasa saja seperti hari-hari sebelumnya. Sampai ketika Tadashi, yang berdiri berhadapan dengan yang lain, tahu-tahu bersuara.
“Aku takut,” katanya waktu itu: dengan kepala menunduk, nada lirih, air wajah yang suram, serta kepalan tangan. Keempat temannya sontak menoleh ke arah kapten mereka. Mereka tahu betul sifat mudah panik dan takut itu terkadang datangi Tadashi meskipun sering kalah oleh percaya diri yang sudah terasah.
Tetapi ini berbeda. Dan mereka berempat, sekali lagi, tahu itu. Hening menguasai gym beberapa detik. Shoyo dan Tobio saling melempar lirikan cemas sebelum keduanya menatap Hitoka yang berada di kanan Tadashi.
Hitoka mengigit bibir. Tangannya berinisiatif untuk mengusap punggung Tadashi lembut, membuat pria itu mendongak dan menemukan senyum simpul di bibir Hitoka.
Gerak Hitoka disambut Kei yang merangkul pundak Tadashi dengan raut wajah datar tetapi matanya jelas mengambarkan kekhawatiran. Melihat itu, Shoyo pun merangkul pinggang Kei dan diikuti Tobio. Kini posisi mereka berlima seperti berpelukan.
Tadashi bisa rasakan matanya memanas siap teteskan air mata. Kepala kembali ia tundukan, tak mampu menatap teman satu timnya. Lelaki bersurai hijau itu sudah siapkan kata maaf di bibir, tetapi gadis pirang yang setia usap punggungnya lebih dahulu bersuara.
“Nggak apa-apa,” ucap Hitoka halus. “Nggak apa-apa, Tadashi. Ada kita. Ada aku, ada Kei, ada Shoyo, ada Tobio juga. Nggak apa-apa, kamu ‘kan nggak sendiri.”
Oh, mana mungkin Tadashi lupa? Sedangkan isak tangisnya langsung memenuhi gym begitu mendengar ucapan tersebut. Benar-benar lepas, tanpa ditahan.
Seolah yang keluar dari netra indah Tadashi bukan air mata, melainkan beban yang menghantuinya selama ini, ketakutan, keraguan, kegelisahan, dan lainnya sampai ia merasa lega sekali.
Melihat kapten yang menunjukkan sisi rapuh, Hitoka sendiri tak mampu menahan air matanya, ikut menangis. Sementara Shoyo sudah mengusap mata yang memerah dengan punggung tangan yang bebas. Kei dan Tobio semakin mengeratkan pelukan mereka berlima.
Tadashi merasa beruntung sekali hari itu.
“Inget, kok,” Setelah diam beberapa saat, Tadashi menjawab diikuti tawa geli. “mana ada aku lupa, orang kita pelukan lama banget. Sampai anak kelas satu sama dua panik ngeliat aku, kamu, sama Shoyo nangis.”
Hitoka tergelak. “Iyaa! Kei sampai marah gara-gara Shoyo nggak mau ngusap ingusnya. Baru mau pas disodorin Tobio tisu.” Tawa gadis itu berganti senyum. “nah, jadi kamu juga inget ‘kan, apa yang aku bilang waktu itu?”
“Iya ..,” Helaan napas dilepas Tadashi. “inget juga, kok. Aku cuman ... Apa, ya ... Takut kalau aku ngerusak permainan kita ... Kalau misalnya aku bikin salah ... Terus kita kalah gara-gara itu ... Atau kita menang, tapi aku kalah ... Aku tahu aku seharusnya bilang begini, maaf ya ...”
Hitoka mengatupkan bibir, mendengar ucapan Tadashi dengan seksama. Alisnya bertaut tanda ia tak suka pacarnya itu merendah.
“Aku takut, Hitoka ... Aku harus gimana? Padahal aku sendiri kapten yang harusnya bisa nenangin anggota kita kalau mereka gugup, tapi aku sendiri malah cupu begini ...”
“Tadashi,” sela Hitoka dengan raut wajah serius. “uh ... Maaf aku nyela, tapi aku marah kamu ngerendahin diri kamu sendiri kayak begitu ...”
Nada bicara Hitoka melembut. “Tadashi, karena kamu kapten bukan berarti kamu harus sempurna, aku yakin Kak Daichi sama Kak Chikara juga pernah mikir begitu. Tapi, kita ini kan satu tim. Kalau kita menang, tandanya kamu juga menang. Dan nggak akan ada yang nyalahin kamu kalau kamu buat salah. Bukannya salah itu wajar? Aku rasa ... um, kamu sendiri yang paling tahu soal itu.”
Sudah beberapa orang melewati Tadashi dan Hitoka yang masih berhadapan di pinggir trotoar. Namun keduanya tetap tidak berubah posisi. Langit perlahan semakin memerah, tanda bahwa matahari hampir tenggelam.
Gadis yang lebih pendek itu memegang kedua tali tasnya. “Oke? Kita bakal masuk nasional sama-sama. Terus juga aku yakin banget kamu pasti nggak bakal gagal, oke? Daripada kamu mikir kamu takut nanti buat salah, mending kita mikir bareng berapa banyak serve kamu yang nantinya bakal berhasil? Kalau kata aku sih semuanya! Kamu keren, sih!” Hitoka tersenyum girang. Kepalanya mengangguk-angguk, berusaha meyakinkan pria di depannya.
Tadashi termangu. Benar-benar terpukau oleh perempuan yang mengutarakan kata sebanyak itu demi dirinya. Senyap mengelilingi. Perlahan, air mukanya tak lagi muram dan berubah menjadi lengkungan manis.
“Aku jadi pengen nangis, deh,” ujar Tadashi seraya menahan agar senyumnya tak terlihat terlalu lebar dengan sedikit menunduk.
Mendengar itu, Hitoka jelas panik. Tangannya bergerak-gerak gelisah. “Loh?? Kenapa?? Aku kebanyakan ngomong, ya? Duh maaaaf!” Rasa menyesal karena ia pikir dirinya terlalu banyak berbicara mulai muncul.
“Eh? Nggak! Bukan itu, kok!” Tadashi gelagapan. “Jangan minta maaf ..,” Tarikan napas terdengar pelan, Tadashi melanjutkan dengan rona samar di pipi galaksinya. “aku terharu aja … Hahaha.”
“Tapi kamu keren, ih, bisa yakin banget kita bakal ke nasional.”
“Hehehe,” Hitoka mengaruk tenguknya yang tak gatal dan menunjukkan deretan gigi. “aku, kan, sekarang bisa ngeramal!”
Tadashi tergelak dan mengancungkan jempol. “Keren! Kalau soal serve aku yang berhasil semua itu kamu juga ngeramal?”
“Iya! Kamu percaya ramalan aku? Udah terbukti ampuh, loh!”
Keduanya tertawa bersama. Tadashi berinisiatif meraih telapak tangan kanan Hitoka, lalu menyelipkan jemari di antara sela jemari Hitoka. Senyum tersungging halus.
“Percaya, kok.” Aku tahu kamu selalu merhatiin tim, merhatiin aku juga, makanya bisa ngomong begitu. “Hitoka, makasih, ya.”
Giliran Hitoka yang terpaku. Ia menatap tangannya, dan tangan Tadashi, saling bertautan. Rona di pipi gadis itu mulai nampak, lebih merah dari langit petang. Butuh sekian detik sebelum jemarinya balas mengenggam milik kekasih erat. Senyum ikut terlukis. “Makasih juga karena udah percaya aku.”
Pasangan yang awalnya malu-malu untuk menunjukkan afeksi itu silih bertukar pandangan sayang. Tidak ada yang mau memutuskan kuncian netra, sampai akhirnya angin berembus kencang. Tadashi menengadah dan dapatkan langit yang sudah hampir gelap.
“Eh astaga, udah gelap! Yuk, pulang!”
“Ih, iyaa! Ya ampun nggak sadar aku ...”
“Ayo, Hitoka! Kita mesti lari biar nggak kemaleman!”
“Ahahah! Jangan kenceng-kenceng, Tadashiii!”
Petang hari itu pulang membawa keresahan Tadashi dan menyisakan kepercayaan diri yang mulai meningkat kembali. Suara kerikil yang tertendang, klakson bus, teriakan anak kecil yang bermain, dan obrolan orang-orang di sekitar ikut mengucapkan selamat tinggal kepada ketakutan Tadashi selama ini. Bersamaan dengan sepasang tangan yang masih bergandengan erat.
Untuk sekian kalinya, Tadashi merasa beruntung sekali.