tsukkiyama: sensei, mau nggak nikah sama papahku?


Mungkin karena Yamaguchi-sensei gemar membelikan pita rambut berwarna merah muda yang mirip dengan warna bunga sakura kesukaannya,

Mungkin karena Yamaguchi-sensei hafal kapan ayahnya terlambat menjemput sehingga ajakan untuk bermain atau bercerita tidak pernah absen,

Mungkin karena Yamaguchi-sensei yang tahu cara ampuh agar dirinya tidak lagi merengut saat anak lelaki menjahilinya, atau hari-hari ketika perasaan hati tidak baik,

Atau mungkin karena senyum Yamaguchi-sensei yang sanggup menenangkan hati membuat Tsukishima Hitomi—putri tunggal dari Tsukishima Kei—berpikir untuk menjadikannya pasangan untuk sang ayah.

Ide “mencari pasangan” sebetulnya baru muncul di kepala cantik Hitomi saat dua minggu yang lalu ketika Kei iseng bertanya kepadanya yang sedang menonton kartun sore itu.

“Hitomi, kalau papah nikah lagi mau nggak?”

Iya, Kei beneran iseng. Pertanyaan itu ia lontarkan lantaran sudah jenuh dicecoki sang ibu untuk menikah lagi. Sudah delapan tahun sejak mendiang istrinya pergi dan Kei mulai terbiasa dengan kesendiriannya. Apalagi Hitomi juga sudah besar, sehingga membuat dirinya merasa bahwa berdua saja cukup. Lagipula ia tidak merasa kesulitan, kecuali kalau jadwal kerja yang menganggu me time dengan anaknya.

Namun, reaksi princess cantiknya (yang selalu membuat Kei menaikkan dagu jumawa kalau ada yang memuji paras Hitomi) di luar dugaan.

“Nikah ..?” Atensi Hitomi 100% tidak lagi mengarah kepada putri kerajaan yang sedang berdansa di televisi.

Kei mengangguk. “Iya, nikah. Mau nggak?” tanya Kei sekali lagi, yang kemudian disesalinya. Nanya tentang nikah kok jadi kayak mau nawarin permen?

“Papah emang udah pacaran? Bukannya nggak boleh, ya, Pah?” Pertanyaan balik yang dilempar Hitomi membuat Kei mengernyitkan dahi.

“Hah? Kata siapa?”

“Ih, kan papah yang bilang ke aku nggak boleh pacaran! Emangnya boleh nikah tapi nggak pacaran dulu?” jawab Hitomi dengan raut wajah bingung.

Kei menghela napas panjang. “Bukan nggak boleh, tapi kamu, kan, masih kecil. Masa udah pacar-pacaran aja? Belajar dulu yang bener, tuh. Nanti kalau ada cowok yang ajak kamu pacaran bilang begitu aja, ya.” Hitomi, setengah mengerti, mengangguk. Ayahnya menahan senyum. “Boleh aja kok, nikah tapi nggak pacaran. Jadi gimana, mau nggak papah nikah lagi?”

“Emangnya sama siapa, Pah, nikahnya?”

“Nggak tahu.”

Giliran Hitomi yang mengernyitkan dahi. “Papah aneh. Kok nggak tahu, sih?? Masa—Oh! Hitomi cariin aja ya, Pah?! Okee?!” pekik anak gadisnya yang berumur delapan tahun girang. Posisinya yang semula duduk menjadi berdiri sambil berjingkrak.

Aduh. Kei menganga. Sungguhan aduh sekali. Cari di mana? Memangnya Hitomi pikir mencari pasangan semudah menghabiskan mi goreng kesukaannya? Namun melihat binar antusias di netra Hitomi, dirinya urung membuka mulut. Yaudah, lah, pikirnya begitu. Palingan besok-besok sudah lupa.

Oh, lugu sekali kalau Kei benar menganggap anak gadisnya lupa soal tawaran pernikahan itu.


Kalau ada yang bertanya alasan ia betah bekerja sebagai guru daycare, Tadashi pasti akan menjawab: “Seru banget dengerin celotehan mereka.

Tadashi senang mendengar kata-kata yang terdengar polos dari bibir anak-anak di tempat penitipannya, apalagi kalau mereka bercerita. Mulai dari cerita tentang keluarga, sampai hal sepele tentang menu sarapan dan sebagainya. Kalau sudah begitu, dirinya akan mendengarkan dengan seksama seraya menimpali dengan lembut. Menurut Tadashi, penat karena bekerja atau beban pikirannya akan hilang kalau sudah berinteraksi dengan anak-anak tersebut.

Keahlian Tadashi sebagai pendengar yang baik membuat ia masuk kategori guru daycare yang paling disukai.

Namun, tentu saja ada kalanya pria dengan pipi galaksi itu tidak tahu harus merespon apa atau bahasa lainnya, speechless. Contohnya hari ini, saat jam pulang sudah tiba, gadis kecil salah satu murid daycare tahu-tahu menarik ujung bajunya dan berkata:

“Yamaguchi-sensei, mau nggak nikah sama papahku? Nanti sensei bisa jadi papah kedua aku, loh! Papah orangnya baik, kok! Bisa masak, bisa beresin rumah, terus punya koleksi boneka dinosaurus yang banyaaaak! Mau, ya, Sensei? Pleasee?”

Ya Tuhan, Tadashi yakin mulutnya menganga lebar. Ucapan dari bibir muridnya yang bernama Tsukishima Hitomi ini memiliki kesan polos yang kental, tapi sanggup membuat ia tak mampu berkata-kata. Aduh, ini mimpi nggak, sih? Tadashi mengerjapkan mata. Oh, nggak. Bukan mimpi karena sosok kecil itu masih menatapnya dengan binar antusias.

Sensei ..? Nggak mau, ya ..?”

Tadashi berdeham, lalu berlutut untuk menyamakan tinggi. Kedua tangan dipakai untuk genggam tangan mungil yang tadi menarik ujung bajunya. “Hitomi. Sayang,” tatapan mata Tadashi melembut. “bukannya sensei nggak mau. Tapi, sensei belum kenal sama papahnya Hitomi. ‘Kan nggak bisa nikah kalau belum kenal.”

“Oh,” Hitomi mengerucutkan bibir. “tapi papah bilang bisa aja nikah tapi nggak pacaran. Kalau gitu sensei aku kenalin, ya, ke papah! Papah pasti suka sensei, kok, tenang aja okee?!” Gadis dengan rambut dikepang dua itu tersenyum lebar, berusaha meyakinkan.

Tadashi menggaruk kepala yang tidak gatal. Duh, kenapa bisa begini? Memangnya kelihatan sekali, ya, di kepala dua ini ia tidak punya kisah romansa yang menyenangkan sampai ditawari menikah? Helaan napas keluar. Tadashi berusaha mengingat seperti apa sosok papah Hitomi.

Hmm, marganya Hitomi, kan, Tsukishima.. Berarti nama papahnya ... Tsukishima Kei! Tadashi berusaha mengingat lebih dalam lagi. Tsukishima Kei ... Yang mana, ya ... Oh—

Yang ganteng banget itu.

Hah? Tadahi buru-buru mengusir pikiran barusan. Oke, memang tak bisa ia pungkiri bahwa ayah dari Hitomi itu memiliki paras menawan yang menurun kepada anaknya.

Dirinya memutar beberapa kejadian yang dulu, di mana Hitomi datang dengan wajah cemberut karena rambut berantakan dan Tsukishima-san yang menghela napas beberapa kali tapi tak mau beri penjelasan tentang raut wajah masam anaknya kepada Tadashi.

Usut punya usut, ternyata Hitomi marah karena ayahnya tidak bisa mengikat rambut dengan benar. Alhasil, Tadashi lah yang mengepang rambut halus gadis cilik itu dan memberinya pita merah muda. Ia ingat sekali senyum lebar Hitomi yang asik pamer pada Tsukishima-san sambil berkata, “Papah!! Cantik, kan, rambut akuu? Kayak bunga sakura!

Atau hari di mana Tsukishima-san terlambat, untuk pertama kalinya, menjemput Hitomi. Putri kecil itu merajuk hebat, yang untung saja segera Tadashi rayu dengan tawaran bermain barbie bersama atau membacakan kisah Snow White yang Hitomi gemari.

Tadashi ingat sekali bagaimana kondisi ayah Hitomi begitu sampai: peluh membasahi pelipis dan raut wajah yang panik. Tetapi kepanikan itu tergantikan oleh embusan napas lega saat melihat anaknya tertawa riang bersama Tadashi.

Oke, Tadashi bisa ambil kesimpulan bahwa siapa yang tak mau menjalin romansa dengan duda beranak satu itu? Masalahnya, Tsukishima-san ini mau, nggak, dengan dirinya yang hanya bekerja sebagai guru daycare? Karier mereka yang berbeda jauh membuat Tadashi enggan untuk berharap lebih jauh.

“Oh! Itu papah!”

Pekikan girang Hitomi membuyarkan lamunan Tadashi. Arah pandang pria itu mengikuti telunjuk Hitomi. Di sana, sosok yang baru saja mereka bicarakan, melangkah mendekat sambil menenteng tas kerja dan senyum tipis.

Aduh, ganteng banget.

Tadashi terkesiap, lalu menepuk dahi. Apa-apaan barusan yang ia pikirkan?

“Wah, Hitomi udah dijemput! Yuk, ambil tas dulu?” ajak Tadashi (yang berusaha menghapus pikiran tadi) seraya berdiri.

Namun gadis cilik itu malah menggeleng. “Nanti aja, Sensei! Aku mau kenalin sensei ke papah dulu!” Hitomi melambaikan tangan heboh. “Papaaah! Sini, deehh!”

Ya Tuhan, Tadashi bisa rasakan tangannya sedikit gemetar saat Tsukishima-san sudah di depan mereka. “Ngga usah, Hitomi—”

“Papah!” abai terhadap ucapan Tadashi, tangan kanan Hitomi meraih jari sang ayah dan tangan kirinya meraih jari sang guru. Tsukishima-san tak tunjukkan reaksi sedangkan Tadashi sendiri sudah panik setengah mati.

Astaga. Pria bersurai hijau itu meneguk ludah saat Tsukishima-san menatapnya bingung.


Iya, Kei sungguhan lugu sekali ketika anggap Hitomi lupa soal pernikahan itu.

Kedua pria yang kini secara tidak langsung bertautan tangan menatap gadis cilik di antara mereka. Tadashi, dengan celemek bertuliskan “YAMAGUCHI”, dan Kei, dengan jas kantor cokelat, tak sanggup menegur Hitomi yang kentara rianya.

“Ini Yamaguchi-sensei! Papah inget, kan, waktu aku bilang kalau mau cariin papah orang buat nikah? Ini aku udah ketemu! Menurut aku, Yamaguchi-sensei cocok, soalnya sensei baiiik banget! Terus bisa iket rambut aku … Kalau aku sebel, sensei bisa bikin aku seneng lagi … Terus …”

Kei membelalakkan mata. Ya Tuhan, ternyata Hitomi benar-benar mencarikannya pasangan. Ujung matanya melirik Tadashi yang nampak jelas resah. Jadi ini guru yang selalu Hitomi elukan di rumah? Kei tak menghiraukan celotehan anak semata wayangnya dan tetap melirik Tadashi.

Menurut Kei, Tadashi terlihat charming dengan freckles yang tampak seperti galaksi di pipi. Alisnya yang bertaut tanda gelisah itu menambah kesan lembut. Sayangnya, Tadashi tidak sedang tersenyum, yang Kei yakini akan tampak sangat cantik.

Oh, ia ingin sekali melihat senyum Tadashi.

“Papah, jadi gimana?” tanya Hitomi, membuat lirikan mata Kei kembali padanya. Kei terdiam—berusaha menghapus bayangan Tadashi—dan tersenyum tipis.

“Hitomi,” panggil pria itu lembut sembari berlutut di teras daycare guna menyetarakan tinggi. “nanti aja, ya, kita bicarain lagi? Tuh lihat, temen-temen kamu udah pada dijemput terus pulang. Kasian Yamaguchi-sensei, kalau mau pulang juga gimana?”

Baik Hitomi maupun Tadashi (yang masih setia mengenggam tangan Hitomi) edarkan padangan. Betul apa kata Kei, beberapa wali murid sudah mulai berdatangan. Guru-guru daycare lainnya sudah tak lagi berada di kelas, melainkan di teras tempat ia berdiri sekarang. Langit petang sudah semakin murung dan angin kerap menambah arusnya.

“Sebentar, Papah!” Hitomi, lagi-lagi tak hiraukan ucapan ayahnya, kembali berseru. “Papah jadinya setuju, kan? Papah udah suka Yamaguchi-sensei belum? Kalau belum, Hitomi kasih tau lagi nih tentang sensei—”

“Iya, Hitomi. Sekarang ambil tas kamu dulu, ya. Udah mau jam lima tuh,” potong Kei. Tanggannya menunjuk jam di dinding daycare.

Tadashi yang melihat adanya kesempatan untuk kabur dari percakapan ini pun ikut berlutut. “Wah, iya! Yuk ambil tas dulu? Katanya jam lima Hitomi mau nonton film barbie di tv?”

Diiming-imingi seperti itu, Hitomi akhirnya luluh dan mengangguk. Ia berlari menuju ruang kelas untuk mengambil tas.

Meninggalkan Tadashi dan Kei berdua saja.

Kei lebih dahulu berdiri, menghadap Tadashi. Senyum tipis terulas. “Saya nggak tahu kalau anak seumur Hitomi bisa bepikir kayak gitu. Padahal saya cuman bercanda aja. Mohon maaf, ya, Yamaguchi-sensei.”

“Eh, iya!” Tadashi ikut berdiri dan sedikit menunduk. Ia mengibaskan tangan kikuk. “Nggak apa-apa, kok, Tsukishima-san. Namanya juga anak-anak, hahahah.” Tawa canggung lolos dari bibirnya. Batinnya sedikit menggerutu kecewa.

Duh, padahal kalau beneran juga nggak apa-apa sih …

“Hah?”

“Hah?” Tadashi menoleh bingung ke arah Kei yang mengernyitkan dahi. Sedetik kemudian, matanya membelalak kaget. Astaga, yang barusan ternyata bukan ia ucapkan dalam hati!

Tadashi membungkuk panik. “Eh, ya Tuhan, maaf! Saya pikir tadi saya ngomong dalam hati … Mohon maaf, Tsukishima-san!” Bibirnya sedikit bergetar sedangkan pipinya merona.

Kei menaikkan satu alis. Wah, tidak ia sangka pria manis di depannya ini juga tertarik dengannya. Ia tahan senyum menang yang hampir terbit.

“Kalau mau beneran saya nggak keberatan, sih.” Kei mengendikkan bahu dan seringai kecil mucul. “Tapi jangan panggil saya Tsukishima-san kalau begitu, Kei aja.”

Rona pada pipi galaksi Tadashi semakin jelas setakat mengalahkan langit petang hari ini.

“Saya …”

“Papah!”

Belum sempat Tadashi bicara, Hitomi lebih dahulu memecahkan perbicangan mereka. Pundak gadis mungil itu gendong tas merah muda dan kakinya melangkah mendekat. Dua pria itu serempak tatap Hitomi.

Kei memalingkan wajah. “Nah, Tadashi-san. Biar Hitomi seneng, gimana kalau kita pendekatan dulu? Hmm, apa ya namanya, pedekate?”

“Uh … Eh ..,” Tadashi mengigit bibir. Isi kepalanya kacau: mengingat banyak hal yang membuat tergemap secara beruntutan. “saya mau pikir-pikir dulu ... Boleh, nggak, Tsukishi—Eh, maksud saya … Kei-kun … Uh .. Saya masih agak bingung …”

Yang dipanggil ‘Kei-kun’ tertawa. Gugupnya Tadashi sungguh menggelitik. Ia rasa sudah ada lampu hijau sebab Tadashi sudah memanggilnya dengan nama depan.

Kei mungkin tidak tahu bahwa Tadashi terpana mendengar gelaknya.

“Iya, Tadashi-san. Santai saja, saya nggak keberatan nunggu,” balas Kei setelah berdeham. Lelaki bersurai pirang itu mengalihkan atensinya.

Hitomi sudah berdiri di hadapan mereka. Jemari ia selipkan di sela-sela tangan sang ayah. Netranya membulat, seolah bertanya mengapa Kei tertawa dan Tadashi tersipu. Hitomi tahu jelas ayahnya jarang tertawa lebar (bukan tawa culas atau dipaksakan), kecuali untuk orang terdekat termasuk Hitomi sendiri.

Gadis berumur delapan tahun itu paham kalau ada yang membuat Kei tergelak, maka orang tersebut signifikan baginya.

Bibir Hitomi mengembang. “Papah, ayo pulang. Sensei, aku sama papah pulang dulu, yaa!”

Kei membalas genggaman Hitomi. Ia mengangguk tanda pamit kepada Tadashi yang langsung dibalas.

“Pamit dulu ya, Sensei. Terima kasih.”

Sensei, dadaaah!”

“Dadah, Hitomi! Sampai jumpa besok yaa, hati-hati!”

Pasangan ayah-anak itu angkat kaki dari halaman daycare dan sisakan Tadashi yang kini merenung.

Demi Tuhan, tidak terbesit di pikirannya bahwa kisah romansa seperti novel-novel roman picisan yang dulu suka ia baca akan termanifestasi dalam hidupnya. Tetapi, bukan berarti dirinya menolak. Toh, Tadashi sudah lama tidak rasakan panas di pipi yang menjalar sampai telinga, jantung berpesta, atau perut yang mengundang kupu-kupu imajiner untuk bersua. Kendati perasaan gamang masih hadir.

Suasana daycare mulai sepi karena kebanyakan murid-murid sudah dijemput. Suara kekehan riang anak-anak, obrolan wali dengan guru, serta teriakan “Mamaa!” iringi langkah Tadashi kembali masuk untu bersiap pulang.

Katakanlah langit yang semakin gelap membuat hati murung. Namun, pada Kei menjadi kontradiksi. Percakapan barusan—kendati dihiasi celoteh lugu Hitomi—menyulut perasaan asing yang membuat ia ingin terus bertemu Tadashi. Betul, perasaan tersebut masih secuil. Tetapi untuk kedepannya, siapa yang tahu? Kei sendiri lebih suka opsi memperbesarnya.

Kei dan Tadashi sudah lama tak beranjangsana dalam hal afeksi. Entah keduanya hanya merindu, ataupun serius mendamba. Yang pasti, dua senyum kecil terbit pada masing-masing bibir Kei, yang menyetir, serta Tadashi, yang memakai sepatu untuk bersiap pulang.

Dan senyum itu jelas sarat akan renjana.