tsukkiyama: i love our love


[satu] Sejak pertemuan pertama, aku sudah tahu ada perbedaan besar di antara kita. Entah itu watakmu, caramu bicara, bahkan dari langkahmu pun aku sudah tahu.

Semuanya sarat akan ketegasan.

Yang jelas kontra dengan milikku. Di mana kecemasan senang sekali bergelantungan sampai jadikan diriku sebagai rumah.

Tetapi mungkin kalau tentang kamu, Kei, aku repot-repot mengusir cemas tersebut. Dia marah, imbasnya menjadi kadang aku nggak percaya diri berdiri di sebelah kamu. Aku seperti kecil sekali. Aku takut dengan hal yang bahkan belum terjadi. Tetapi, sekali lagi, kalau itu tentang kamu, aku siap halau semua itu. Sebab aku nyaman di dekat kamu dan aku nggak mau rasa nyaman itu hilang.

Sedari kanak-kanak, aku selalu takjub dengan apa-apa yang kamu lakukan. Kalau kamu inget, aku sering memekik riang kalimat puji padamu.

Tsukki, keren banget!” Yang ini sewaktu kamu ngelawan anak kelas enam yang usil.

Kamu tuh kayak bisa apa aja tau!” Yang ini sewaktu kamu dapat nilai IPA 90: tertinggi di kelas.

Dan lainnya.

Hingga kita mulai beranjak remaja (kayaknya waktu kita SMP, untuk tepatnya aku lupa, sih), aku sadar kamu nggak setegas itu. Aku sadar kamu nggak sesempurna itu. Aku sadar kamu punya banyak kekurangan.

Kamu nggak sesuai ekspetasiku ketika aku kecil. Tapi nggak papa. Nggak masalah sama sekali. Namanya kurang ajar kalau aku kecewa, karena aku sendiri yang paling banyak celanya.

Belajar tentang kekuranganmu, aku mulai nggak ngerti motif di balik kiatmu menyembunyikan semua itu. Ketidakpahaman itu lama-lama berubah menjadi rasa penasaran. Aku mau tahu kepada siapa kamu berkeluh kesah, kepada siapa kamu mengadu, kepada siapa kamu pulang.

Rasa penasaran yang bercampur dengan pukau tumbuh semakin besar. Mulai dari kita berdua SMP sampai masuk jenjang SMA perasaan itu terus berkembang. Hingga aku nggak perhatikan bahwa rasa itu berubah menjadi: aku mau jadi tempat yang aman atau kalau bisa nyaman buat kamu.

Kei, aku juga mau bisa lindungi kamu, layaknya kamu yang dulu lindungi aku.

Agaknya kamu belum bisa tebuka padaku, nggak papa, aku masih tetap mau curahkan afeksiku. Sampai kapan? Mungkin sampai aku sadar kalau afeksiku ini bukan sekadar platonik semata.


[dua] Iya, aku pikir begitu. Hingga suatu hari, kamu mengadu.

Yamaguchi, aku capek. Nggak tahu kenapa. Kayaknya gara-gara hari ini aku kurang maksimal.

Itu keluhan pertamamu padaku, ketika kita di jalan pulang setelah melawan Shiratorizawa. Malam sayup-sayup membawa murung yang diikuti embusan kencang angin. (Aku rasa suasananya cocok untuk bermuram, ya, Kei? Hehe).

Jangan tanya ekspresiku setelah kamu bicara begitu. Mata membelalak kaget, tak sempat keluarkan suara. Tetapi kamu nggak protes dan tetap diam seraya menatapku. Butuh beberapa detik sebelum bibirku mengembang halus dan rentangkan tangan.

Mau peluk?

Itu juga pelukan kita setelah, seingatku terakhir kali itu saat kita kelas lima SD, sekian lama. Padahal hari itu sudah masuk musim dingin, tapi suhu tubuh kita saat saling merangkul hangat sekali. Seperti hari pertama musim semi. Sementara aku girang seperti sehari sebelum hari pertama liburan musim panas.

Kamu bagi kegelisahanmu, sedangkan aku bagi ketenangan.

Perutku kayak ada kupu-kupunya tau, Kei. Aku ingin berkata begitu, tapi bungkam ketika dengar suara debaran jantungmu.

Berisik sekali. Persis seperti milikku.


[tiga] Sekali lagi, aku pikir begitu. Dan sekali lagi, hingga suatu hari, giliran aku yang mengadu.

Bukan mengadu lagi, sih, mungkin lebih tepatnya merengek? Hahah.

Aku menangis sore itu. Hari ketika teman-teman satu tim, tim Seijoh, dan penonton stadion saksikan kegagalanku. Hari di mana seharusnya aku selamatkan tim, tetapi malah merusak merusak momentum.

Kukira kamu nggak peduli. Namun di jalan pulang, di pertigaan yang sunyi, kamu genggam tanganku yang masih berbekas keringat.

Hei.

Kenapa, Tsukki?

Hening sebentar. Aku menggigit bibir, mau ngomongin apa? Aku buat salah, ya?

Mau, umm .., mau peluk, ngga?

Dan itu menjadi pelukan kedua kita yang menurutku sangat berkesan. Mustahil aku bisa menahan rintihan ketika kamu mengusap punggungku lembut. Semuanya luruh saat tanganku merengkuh badanmu. Kekecewaan yang sedari tadi kutahan meluap-luap.

Sayup-sayup kudengar tawa kecil. “Waktu itu kayaknya aku nggak sampai nangis, deh.

Aku yang masih tersengut-sengut memukul dadamu pelan.


[terakhir, empat] Sejak itu, kita mulai lebih sering berbagi. Tidak hanya kekhawatiran, tetapi sekarang juga keceriaan. Mulai dari kamu yang kerap mengirim foto kucing atau anjing di jalan sampai cerita-cerita lucu yang dilontarkan saat pulang sekolah.

Semuanya terasa menyenangkan sekali. Aku rasa kamu sudah mulai nyaman untuk terbuka padaku.

Afeksiku terus bertambah. Aku akhirnya paham bahwa ini bukan platonik. Aku suka Kei. Aku mau terus jadi pendengarnya. Aku mau Kei juga ngerasain hal yang sama.

Dengan semua kemauan itu, aku menduga diriku ini egois.

Tapi bukannya kasih sayang itu memang egois? Kalau nggak begitu, namanya kita nggak butuh hubungan asmara, dong?

Kei, aku nggak bakal bilang langsung ke kamu (soalnya malu, hehe), aku tahu ada perbedaan besar antara kita. Sedari kecil pun aku paham. Tetapi dewasa ini, dengan berbagai perhatian yang kamu beri kepadaku, aku bisa mengusir kecemasan yang sudah tinggal bertahun-tahun.

Kita nggak sempurna, tetapi kita berbagi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Kamu menjadi tempatku beranjangsana dan begitu pula kamu. Aku bisa pegang senyum kamu erat-erat, supaya nggak lagi takut.

Kei, aku suka kamu. Tapi aku lebih suka bagaimana kita saling merengkuh nyaman.