tsukkiyama: tinkerbell dan kue stroberi
Tadashi pertama kali berkunjung ke rumah Kei ketika umurnya 10 tahun.
Kei pertama kali mengajak Tadashi ke rumahnya ketika umurnya juga 10 tahun, di hari yang sama.
Hampir empat bulan usia pertemanan, tetapi tidak sekali pun Kei dan Tadashi bermain bersama di luar lingkungan sekolah. Sewaktu tanggal merah atau hari libur juga mereka tidak saling bertemu.
Tadashi biasanya menemani ibunya belanja mingguan di supermarket saat hari sabtu pagi. Setelah itu, sisa harinya akan dipakai untuk membantu sang ibu di dapur atau membersihkan rumah.
Pasangan anak dan ibu Yamaguchi itu gemar memanggang kue, entah kue yang sudah biasa mereka buat atau mencoba resep baru. Sebetulnya Tadashi sendiri bukan tipikal anak yang rajin, tetapi begitu diiming-imingi makanan kesukaannya, ia siap melakukan pekerjaan rumah.
Sementara Kei lebih suka menghabiskan weekend dengan memburu film bersama Akiteru di ruang keluarga seraya meminum jus stroberi. Karena Akiteru bukan penggemar genre berat seperti science-fiction dan semacamnya, maka mereka hanya menonton film kartun atau komedi yang aman untuk anak-anak.
Kalau filmya sudah selesai, kakak beradik itu akan membahasnya. Bukan diskusi yang berat, hanya pujian dan kritik kepada aktor atau tokoh serta detail-detail kecil yang biasanya Kei tanyakan karena tak paham.
Baik Tadashi maupun Kei sudah punya jadwal masing-masing. Tadashi dengan list hari-sabtu-bikin-kue-apa dan Kei dengan list hari-minggu-nonton-film-apa.
Sayangnya, di hari rabu sebelum berangkat sekolah, Akiteru dengan raut murung memberi adiknya pengumuan.
“Abang hari sabtu sama minggu mau belajar buat lomba minggu depan, Kei. Jadinya kita nggak bisa nonton bareng. Maafin abang, yaa. Atau Kei ajak temen aja main di rumah, gimana?” ujarnya ketika mereka sedang memasukkan peralatan sekolah ke dalam tas.
Kei terdiam sebentar. Ah, emang ada yang bisa aku ajak nonton selain abang? Awalnya ia ingin menolak ide Akiteru, tetapi mendadak terpikir sesuatu di otak.
“Yaudah,” balas Kei sambil mengangguk. “Kei ajak temen. Tapi laptop abang jangan dibawa, ya, kami mau nonton lewat itu ntar.”
Wah. Akiteru menganga. Sungguh, tadi hanya akal-akalannya saja untuk tawarkan Kei undang teman ke rumah. Ia pikir adik semata wayangnya itu tidak punya teman dekat sebab Kei juga tidak pernah membicarakan siapa-siapa dari sekolah.
“Abang?” panggil Kei bingung karena sang abang masih terpaku.
‘Eh, iya!” Akiteru buru-buru tersenyum manis. “Oke, abang tinggal laptopnya di rumah. Nanti abang tunjukin filmnya yang mana sama bilang ke mama temen Kei mau dateng, yaa.”
Kei kembali mengangguk dan alihkan pandangan. Kepalanya menyusun kalimat yang akan ia ujarkan pada temannya nanti di sekolah.
Siapa lagi teman yang Kei maksud selain Tadashi?
Selepas makan siang dan istirahat masih berlangsung, Kei pergi ke kelas Tadashi. Di perjalanan, ia berulang kali menghafal skenario yang telah disiapkan. Tubuh tingginya mengintip di balik pintu belakang kelas, memastikan Tadashi ada. Namun, tindakan ‘mengamati’ itu sama sekali tidak efektif karena badan menjulang membuat Kei mudah dinotis oleh anak yang lain.
Oh, itu dia!
Tadashi ada di bangkunya, sedang fokus menulis sesuatu di buku. Lengkungan bibir tanpa sadar hadir pada Kei. Ia langkahkan kaki untuk masuk ke dalam kelas dan menghampiri oknum yang dicari. Suasana kelas Tadashi cukup ramai karena kebanyakan murid belum selesai makan siang.
“Yamaguchi,” panggil Kei begitu sampai.
Merasakan ada yang memanggil namanya, Tadashi sontak mengangkat kepala. Atensinya tak lagi pada buku. Netra pemilik pipi galaksi itu bertabrakan dengan milik lelaki yang berdiri di sampingnya. Setengah kaget, senyum lembut langsung hiasi bibir Tadashi.
“Oh, Tsukki! Tumben ke sini?”
Disapa seperti itu, mendadak Kei jadi gugup. Segala kemungkinan buruk muncul di otak. Kalau Tadashi nggak mau gimana? Kalau Tadashi nggak suka filmnya gimana? Kalau—
“Tsukki?”
“Hah!” Lanang yang melamun itu sedikit terlonjak. Tadashi menelengkan kepala heran. Lekas Kei usir pikiran negatif dengan Udah, sikat aja ayo! lalu kembali bersuara.
“Eh, sori. Umm .., itu … Hari minggu abangku pergi tapi kami mau nonton bareng terus kata abang boleh ajak temen jadi kamu mau nggak ke rumahku terus nonton bareng?” Astaga, Kei rasa ia bisa ikut lomba rap karena pertanyaan barusan ia lontarkan dengan satu tarikan napas.
Yang diajak terdiam sebentar karena tak percaya. Ini beneran?! Aku main ke rumah Tsukki? Huhuhu, mauu!
Sejak masuk SD, Tadashi belum pernah mengunjungi rumah temannya dengan alasan ingin bermain karena tak ada yang mengajak. Ia selalu bertanya-tanya seperti apa rasanya. Maka begitu Kei menawar, dirinya terpaku. Bisa Tadashi rasakan pipi galaksinya menghangat karena terlalu girang.
Tidak ada jawaban dari Tadashi buat Kei mengigit bibir. “Kecepetan, ya, aku—”
“MAU!”
“Eh?” Kei mengerjap.
“Mau, kok! Nanti aku bilang dulu ke bunda tapi, ya. Kita mau nonton apa emang, Tsukki?” seru Tadashi dengan binar netra yang terlihat jelas. Melihat adanya antusias pada lawan bicaranya itu membuat senyum Kei mengembang. Dirinya bersyukur karena tawarannya diterima.
“Nggak tahu, nanti aku tanya abangku dulu,” balas Kei. Tadashi mengangguk paham.
“Okee! Nanti aku kasih tau kalau bunda bolehin, yah!”
“Iya. Yaudah itu aja,” Kei bersiap untuk berbalik badan dan kembali ke kelas asal. Tangan kirinya melambai pada Tadashi. “aku balik, ya.”
“Iyaa, dadaaah!”
Satu hal yang Tadashi tidak tahu, Kei diam-diam mengepalkan tangan ke udara saat sudah sampai di koridor, sambil mendesis Yes!
Serta satu hal yang Kei tidak tahu, Tadashi tidak bisa berhenti tersenyum dan mengayunkan kaki di bangku tanda riang.
“Tsukki, kata bunda aku boleh ke rumah kamu! Oh ya, kamu suka kue rasa apa? Nanti kata bunda mau dibikinin buat makan pas kita nonton, hehehe.”
Saat jam istirahat pertama sebelum makan siang, keduanya beriringan menuju kantin. Biasanya hanya Kei yang membeli jajanan seperti roti atau makanan ringan karena Tadashi sudah dibekali ibunya kue kecil. Setelah itu, mereka pergi ke taman sebelah kantin dan menghabiskan waktu sampai bel berbunyi di bangku sana.
Kei berhenti melangkah dan menepi di dekat tangga. Ia berpikir sekejap. “Hmm .., kamu tau strawberry shortcake?”
“Oh!” Tadashi ikut menepi lalu mengangguk cepat. “Tau! Bunda pernah bikin. Aku juga suka itu, enak yaa!”
“Iya.” Kei ikut mengangguk-angguk tanda setuju. Mendadak, dirinya teringat sesuatu. “Oh, ya, Yamaguchi. Kata abang aku filmnya … umm ..,”
Nada bicara temannya yang ragu itu membuat Tadashi mengeryit. “Kenapa, Tsukki?”
Kei mengalihkan tatapan sebentar. Netranya melirik anak lain yang barusan menuruni tangga. Kemudian ia kembali menunduk untuk adu pandang dengan Tadashi yang lebih pendek darinya. “Filmnya … Tinkerbell … Soalnya kemaren kami nonton serial sebelumnya. Kamu …, masih mau nonton, nggak?”
Tadashi mengedip beberapa kali sebelum tertawa pelan. “Kamu suka nonton Tinkerbell?”
Kei bisa rasakan pipinya sedikit memanas karena ia kira Tadashi mengoloknya. “Iya, kamu nggak—”
“Aku juga suka!” potong Tadashi semangat. “Kita nonton yang mana? Aku baru aja selesain yang—apa tuh namanya, ya. Oh!—The Great Fairy Rescue! Seru bangeeet!” Kaki sang pembicara melonjak rendah untuk salurkan antusias.
Wah. Kei terpana. Sebelumnya belum ada teman lelakinya yang juga suka Tinkerbell atau kartun lain yang biasa disebut film-perempuan-banget. Menurut Kei, terlepas dari target audiensnya memang kaum hawa, kalau filmnya seru kenapa nggak? Lalu sekarang, Tadashi membuat pemilik surai pirang itu ingin terus berbagi interestnya.
Kei menggaruk tenguk yang tak gatal. “Yang judulnya The Secret of Wings. Kamu belom nonton, kan?”
“Belom, kok!”
“Yaudah, ayo ke kantin. Nanti rotinya keburu abis.”
“Okee, Tsukki!”
Hari ini, Tadashi pertama kali membawakan kue bikinannya untuk teman dan berkunjung ke rumah orang untuk bermain
Hari ini juga, Kei pertama kali berbagi dan membahas hal yang ia suka kepada selain Akiteru.
Semua serba pertama kali bagi mereka, sehingga tercipta atmosfer yang canggung pada awalnya. Ruang keluarga Kei sudah dirapikan terlebih dahulu dan jendela dibuka lebar-lebar supaya cahaya matahari pagi masuk. Laptop Akiteru menyala di meja. Kei dan Tadashi duduk bersebelahan di atas karpet berbulu lembut.
Di samping mereka masing-masing terdapat piring kecil yang ibu Kei siapkan untuk strawberry shortcake milik Tadashi serta sebotol jus stroberi. Kedua anak lelaki yang usia persahabatannya empat bulan itu sama-sama memasang wajah berseri saat film diputar.
Suasana canggung itu hilang setelah lima menit film dimulai. Tawa lebar memenuhi ruang keluarga saat adegan-adegan konyol muncul. Kue pada piring Kei lebih dulu habis, membuat Tadashi yang melirik piring kosong tersebut tersenyum senang. Keduanya kembali bereaksi ketika adegan lain tiba, seperti menahan napas atau beteriak kecil.
Kei tidak pernah suka diajak mengobrol saat sedang menonton film, karena itulah ia dan Akiteru biasanya berdiskusi setelah layar sudah mati. Tetapi, mungkin setelah Tadashi berucap dengan nada ceria—
“Aaaah, lucu banget Tinkerbellnya punya kembaran!”
—Kei membuat pengecualian untuk temannya itu.
“Iya, seru kali, ya, kalau punya kembaran?” balasnya dengan senyum kecil.
Saat bagian klimaks sampai, Tadashi tidak sengaja mengenggam telapak tangan kanan Kei yang berada di dekatnya. Lelaki cilik itu punya kebiasaan memegang tangan ibunya kalau sedang berdebar-debar. Matanya fokus tatap layar laptop dan kerutan di kening terlihat jelas.
Waduh, jangan tanya reaksi oknum yang tangannya digengam. Kei yakin sekali rona merah menghiasi pipinya sampai ke telinga. Jelas dirinya kaget, tetapi tak sampai hati untuk menarik tangan kembali. Akhirnya, dengan posisi tapak tangan Tadashi di atas miliknya, Kei berusaha untuk tetap memusatkan fokusnya pada film.
Mungkin untuk sebagian orang, kegiatan semacam menonton film bersama adalah hal yang biasa. Namun untuk Kei dan Tadashi, yang baru berteman sejak empat bulan lalu, ini jelas termasuk istimewa.
Karena begitu acara menonton selesai, saat Tadashi sudah bersiap untuk pulang, Kei membuka suara.
“Kapan-kapan … Mau nonton film lagi, nggak? Bareng abangku juga.”
Yang tentu saja disambut senang oleh Tadashi.
“Mau!”